Hot Deal

Minggu, 03 Agustus 2014

[ Sampel Artikel ] Harapan Sehat Dan Kepedulian Pemerintah

Penulis : Andre Salmon.
Tema : Praktik Pelayanan Kesehatan di Indonesia

   Banyak sekali orang yang mementingkan kekayaan, mendewakannya, dan melupakan kesehatan. Bekerja siang dan malam, memeras pikiran, tenaga, dan berakhir di rumah sakit. Tapi bukanlah rasa cemas akan biaya yang meliputi orang itu, karena dengan kerja kerasnya orang itu dapat memperoleh kemapanan finansial. Dan kemapanan itu akan membawanya kepada akses kesehatan yang baik.
   Memang, mapan dalam keuangan adalah kekuatan untuk mendapat perobatan yang layak. Orang berkocek tebal mampu mendapat pelayanan kesehatan,sekalipun itu di tempat termahal. Namun bagaimana dengan orang yang berpendapatan rendah?
   Rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta, sangat memerlukan akses kesehatan. Merujuk kepada slogan tidak resmi, “ Orang miskin tak boleh sakit” maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa tak semua orang akan mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal. Karena tidak semua orang kaya. Orang-orang yang berkocek tipis atau kantong kering tanpa dukungan pemerintah, tidak dipungkiri mendapat respon lambat dalam berobat.
   Saya sering mendengar slogan di atas. Bahwa orang miskin tidak dianjurkan untuk sakit. Karena katanya biaya perawatan kesehatan sangat mahal. Entahlah, tapi slogan di atas tidak pernah berlaku dalam hidup saya.
   Perkenalkan, saya adalah seorang penulis yang masih berstatus pelajar. Saya bersekolah di SMAN 15 Medan. Suatu kebanggaan buat saya diizinkan menilai praktek kesehatan di Indonesia. Dizinkan untuk memberi pandangan tentang sistem wajah dan regulasi kesehatan di Indonesia. Karena saya pelajar, saya akan menggunakan sudut pandang pelajar yang hidupnya masih tergantung pada kesehatan dan kondisi keuangan orang tua.
   Ayah saya hanyalah penjaga keamanan di sebuah supermarket, dan ibu yang berstatus sebagai buruh pabrik. Membaca profesi tersebut dapat ditebak bagaimana kondisi keuangan kami sekeluarga. Begitupun, saya tidak pernah melihat wajah yang cemas dari mereka (orang tua saya) yang diakibatkan oleh mahalnya biaya perobatan. Karena kedua orang tua saya menggunakan Kartu Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau sering disingkat Jamsostek. Baru-baru ini, tepatnya 31 Oktober 2013 lalu, saya mengalami sakit di bagian pencernaan. Dokter memvonis saya mengalami asam lambung. Saya takut sekali menunggu keputusan dokter. Apakah akan rawat inap atau cukup diberi obat dan dibiarkan pulang. Saat itu saya dirawat di Klinik Millenium, sebuah klinik yang berbasis di Medan.
  Saya sangat cemas. Kecemasan itu beralasan. Yang pertama, saya takut tidak dapat sekolah bila dirawat inap. Karena ketika itu saya akan menghadapi ujian tengah semester di sekolah. Yang kedua saya takut menyoal anggaran kesehatan yang kabarnya sekali berkonsultasi dengan dokter akan sangat mahal. Mengingat kondisi keuangan keluarga yang sudah banyak dihabiskan buat biaya pendidikan, hati saya jadi miris.
   Tapi puji Tuhan saya mendapatkan jawaban yang melegakan. Bahwa saya tidak perlu dirawat inap. Hanya perlu diberi obat. Tapi aneh bin aneh. Tidak ada kecemasan dari wajah kedua orang tua saya.  Obat yang diberi dokter sangat banyak. Yang satu katanya untuk meredakaan pening di kepala, karena dokter mengatakan bahwa ketika asam lambung kepala bisa sewaktu-waktu mengalami pening. Obat lainnya obat untuk mencegah mual, obat untuk menetralkan asam lambung, obat untuk meredakan rasa sakit, obat untuk menguatkan selera makan, karena katanya ketika asam lambung, orang yang terjangkit akan sangat lesu dan tidak selera makan. Dan masing-masing obat punya banyak jenis dan kuantitas yang beragam. Ada obat tablet, ada obat sirup, dan lain sebagainya. Dalam hati saya berpikir, apakah obat-obat ini tidak mahal? Karena yang saya baca di media-media massa, harga obat-obatan bisa lebih mahal dari biaya konsultasi dokter itu sendiri. Kalau konsultasi di dokter harganya bisa mencapai Rp.200.000,- maka biaya menebus obat bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Tapi ketika membayangkan harga yang membengkak itu, orang tua menepuk pundak saya lalu tersenyum. Mereka menunjukkan Kartu Jamsostek dan mengajak saya pulang. Kartu Jamsostek itu mengobati semua kegelisahan. Tanpa biaya konsultasi, biaya obat-obatan, dan tanpa proses yang lambat, kartu Jamsostek itu benar-benar meringankan beban biaya kesehatan bagi keluarga saya.
   Begitulah yang saya alami. Dan saya sakit tidak hanya saat itu saja. Dulu sekali saya terjangkit tipus. Empat tahun berturut-turut sejak kelas 1 SD saya terjangkit tipus. Dan saya sudah sering keluar masuk rumah sakit. Di rawat inap juga merupakan hal biasa. Tapi tak pernah wajah kedua orang tua saya cemas. Katanya Kartu Jamsostek mampu menggantikan segala biaya pengobatan. Saya sangat beruntung mendengar hal tersebut.
   Tapi berbanding terbalik dengan sepupu saya. Yang beberapa minggu setelah saya sakit, ia menyusul dengan penyakit yang lebih parah. Demam berdarah. Ia dirawat inap selama satu minggu lamanya. Akan tetapi keluarganya tidak memiliki Kartu Jamsostek. Jadilah biaya Rp.8000.000,- menjadi tanggungan mereka. Bukan bermaksud membandingkan, hanya saja sebagai pelajar saya merasa lebih aman memiliki keluarga yang sudah punya asuransi nasional di Jamsostek.
   Melihat realita yang ada, yang mana banyak orang protes tentang biaya kesehatan yang mahal, saya rasa yang menjadi permasalahannya adalah kurang merakyatnya asuransi nasional, Jamsostek, Jamkesmas dan beberapa turunannya di kalangan masyarakat. Sehingga bagi orang-orang yang kurang mampu keuangannya, merasa terbebani dengan biaya kesehatan itu.
   Saya sempat membaca tulisan di dari Kementrian Kesehatan RI, tentang aturan Jamkesmas. Berikut saya salinkan apa yang saya baca.
   “Sesuai dengan ketentuan, program Jamkesmas tidak boleh membebani pasien Jamkesmas dengan biaya apapun dan dengan alasan apapun. Oleh karena itu tidak boleh ada yang melanggar ketentuan pelaksanaan Jamkesmas dan harus dilaksanakan oleh semua rumah sakit yang melaksanakan pedoman Jamkesmas”
    (Lapor.Ukp.Go.Id)
   Orang tua saya juga mengatakan apabila saya mau berobat sendiri , bisa langsung dilakukan dengan kartu Jamsostek ini karena prosesnya cepat dan pelayanannya memuaskan. Dan memang sudah saya alami sendiri. Apalagi Jamsostek sekarang sudah tersebar di banyak sekali rumah sakit. Begitupun di Medan. Di sekitar rumah saya saja, ada dua rumah sakit dan beberapa klinik. Di setiap kecamatan bisa mencapai lima rumah sakit dan puluhan klinik. Inilah yang menjadi kemudahan pasien Jamsostek atau Jamkesmas.
   Namun semua kemudahan itu tidak lah merata. Sewaktu saya melakukan perjalanan rohani ke Salib Kasih, Tarutung pada tahun 2009, saya terkejut mendengar dari snag pemandu bahwa di Tarutung hanya ada satu buah rumah sakit daerah. Itu pun kurang lengkap fasilitasnya, sehingga kebanyakan masyarakatnya lebih memilih pergi berobat ke luar kota untuk mendapat penanganan kesehatan yang lebih baik seperti kota Pematang Siantar. Tapi mengingat pembangunan daerah tertinggal sudah gencar dilakukan, maka fasilitas kesehatan di sana juga berangsur-angsur akan ditingkatkan. Menurut Wikipedia, tanah indah dan religius itu dihuni oleh 39.541 jiwa pada tahun 2010. Dan karena jumlah penduduk itu sangat besar, diharapkan pemerintah di sana lebih peduli supaya tidak terjadi kesenjangan mutlak antara jumlah rumah sakit di pedesaan dan perkotaan .Juga supaya warga kabupaten di sana tidak perlu jauh-jauh pergi ke luar kota untuk mendapat pelayanan kesehatan.
   Baru-baru ini juga, saya menonton di televisi tentang program BPJS Kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Dimulainya program ini katanya pada awal tahun 2014. Disebutkan bahwa program BPJS Kesehatan ini adalah program asuransi skala nasional, dan diharapkan mampu menjawab tantangan dari sulitnya akses kesehatan bagi orang-orang miskin. Bedanya dengan asuransi lain, BPJS Kesehatan adalah lembaga nirlaba, sehingga kepentingannya dibangun untuk melayani rakyat. Harapan penulis, semoga program BPJS Kesehatan ini memang tulus untuk rakyat, dan lebih baik dari program-program kesehatan lainnya.
   Karena BPJS Kesehatan ini adalah program gotong royong, dimana yang kuat menanggung yang lemah dan yang kaya menanggung yang miskin, sangat tepat bila program ini dikatakan sejalan dengan Pancasila. Bung Karno, Presiden RI pertama yang merumuskan Pancasila pernah berkata: “ Pancasila dapat diuraikan menjadi 20, 50, 100, bahkan 1000 bagian. Dan jika saya peras yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia tulen, yaitu perkataan     Gotong-Royong. Gotong-Royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu sesama. Amal semua buat kepentingan semua. Keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris- buat kepentingan bersama. Itulah Gotong Royong!”
   Senang rasanya melihat pemerintah memperlakukan dengan adil masyarakatnya. Membuat program yang memenangkan hati rakyatnya. Apalagi yang membutuhkan bantuan kesehatan. Melihat senyum dari mereka yang sembuh, dan melihat lega dari mereka yang ikhlas merawat.
Maju terus kesehatan Indonesia, maju terus Indonesia ku! Dukung terus pemerintah wujudkan Indonesia sehat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar